Sekejap pejamkan mata Anda. Sebut satau kata, Perpustakaan. Kemudian, apa yang ada dalam bayangan Anda. Bukankah di sana ada deretan buku yang tertata rapi dalam sebuah lemari atau rak buku yang berjejer di sebuah gedung megah. Di samping dan atau pinggirnya tersimpan meja dan sederet kursi yang siap menampung siapa saja yang datang ke sana.
Sebelum masuk ke dalamnya, Anda harus mengisi sebuah buku tamu yang berisi data dan maksud kedatangan Anda, dijaga oleh seorang petugas yang siap mengingatkan siapa saja yang melewatinya jika tidak membubuhkan data di sana. Kemudian sejenak Anda akan berfikir lalu melongo ke satu rak dan rak lainnya. Mencoba mengambil satu, dua, tiga buku, kalau tak cocok simpan kembali dan ditukar dengan yang lain. Dengan sangat hati-hati Anda memperlakukan buku dan siap untuk membacanya sebelum kemudian mencari meja kosong dan Anda pun duduk di kursi yang manis menunggu kehadiaran sang pembaca yang budiman.
Sebagian lagi orang hanya datang ke ruang tertentu yang menyediakan layanan media massa berupa koran, majalah, tabloid, jurnal dan sejenisnya. Terkadang menunggu media yang Anda maksud tetapi sengan dibaca orang, Anda akan pura-pura membaca media lain sambil mata sesekali melirik media yang Anda maksud yang ada di tangan orang. Setelah lama menunggu Anda akan mendapatkan media itu dalam kondisi sudah tidak mood lagi untuk membaca.Jangan lupa setiap pengunjung akan sangat hati-hati datang ke ruang publik ini, sebab di dalamnya banyak aturan yang dimaksudkan untuk ketertiban Perpustakaan itu. Hingga keluar ruangan, Anda akan menemui petugas kembali jika Anda akan meminjam buku. Ada administrasi dan persyaratan lain jika Anda belum menjadi anggota resmi perpustakaan itu. Jangan lupa, waktu pengembalian sudah ditentukan, jangan sampai telat sebab Anda akan didenda dengan uang recehan jika melanggarnya. Sampai ke rumah, kostan atau ketempat Anda kembali, tidak ada yang tahu apa yang Anda perlakukan terhadap buku yang Anda pinjam selain Tuhan dan Anda sendiri.
Secara umum (klik, tidak semua) perpustakaan keberadaannya sangat statis. Sebagai sumber membaca dan meminjam bahan bacaan. Masyarakat datang ke perpustakaan dapat dipastikan tujuannya selain baca, ya pinjam, atau ke dua-duanya. Ruangan yang megah dan petugas yang banyak hanya berfungsi sebagai pelayan administratif dan statis. Pola pengembangan berkisar pada daur ulang bahan bacaan atau penyediaan sarana. Pengembangan program yang terkait dengan aspek kegiatan yang dapat menjadi sumber inspirasi untuk belajar hal-hal lain, sangat kurang.
Persoalan lain adalah perpustakaan yang tersedia saat ini masih sangat terbatas. Perpustakaan yang di sediakan pemerintah sangat-sangat kurang dan tidak memungkinkan untuk masyarakat luas dapat menjangkaunya. Selain hanya terpusat di perkotaan, pada sisi lain, lokasi juga biasanya jauh dari strategis.
Sampai saat ini, perpustakaan menjadi tempat yang kurang seksi di mata masyarakat – bahkan mungkin di mata para pengambil kebijakan. Alih-alih menjadikannya sebagai tempat strategis dalam membangun SDM, justru dikhawatirkan hanya menjadi pelenggap saja. Padahal perpustakaan menyimpan segudang potensi yang dapat menggerakan SDM anak bangsa menjadi lebih maju.
Kondisi ini pun masih sangat beruntung bagi Anda yang hidup di perkotaan. Bagaimanapun, Anda masih dapat menjangkau perpustakaan yang telah disediakan. Bayangkan jika masyarakat pedesaan, yang jauh dari layanan perpustakaan, hanya mimpi yang dapat berangkat ke sana. Sedangkan keberdaan layanan perpustakaan keliling begitu terbatas. Ketimpangan fasilitas ini menjadi persoalan lain yang mungkin sangat ironis jika tidak dijembatani. Padahal masyarakat di pedesaan juga merupakan warga negara yang berhak untuk mendapat layanan ilmu dengan layak.
Bersinergi Dengan Wajar
Pada aspek yang lain, rendahnya tingkat rata-rata pendidikan di negara kita biasanya penyumbang terbanyak adalah di pedesaan. Alasan klasik yang senantiasa muncul dalam konteks putus sekolah ini tidak jauh dari masalah biaya. Mungkin atas dasar asumsi inilah kemudian biaya sekolah hampir di setiap jenjang di gratiskan SPPnya. Dengan harapan ke depan tidak ada lagi alasan masyarakat desa yang tidak sekolah karena alasan finansial. Padahal dalam kenyataannya, biaya sekolah bukan hanya persoalan SPP, tetapi juga berbagai kebutuhan pendidikan lainnya, seragam, alat tulis, tas, sepatu, biaya praktek, fasilitas, termasuk transfortasi dan biaya study banding jika itu dibutuhkan. Dan pada aspek inilah justru biaya pendidikan itu sangat tinggi.
Karenanya, saya kira persoalan rendahnya rata-rata pendidikan bukan hanya persoalan biaya, tetapi ada aspek lain yang harus dicermati, yaitu persoalan lemahnya motivasi belajar. Banyak kasus dimana masyarakat pedesaan itu kini tidak lagi memprihatinkan dari aspek ekonomi, tetapi mengapa anak-anaknya tetap tidak sekolah. Sebab anak-anak lebih dikondisikan untuk lebih memilih bekerja dari pada sekolah. Bagi perempuan, menikah lebih dini lebih baik daripada dianggap telat dan dicemooh masyarakat sebagai perempuan tidak laku-laku.
Menghadang arus syahwat mencari rezeki dengan kemudian meninggalkan bangku sekolah sesungguhnya lebih berat ketimbang memberikan dana kepada masyarakat untuk tidak membayar uang SPP. Sayangnya, pendekatan-pendekatan yang materialistik selalu menjadi pilihan daripada melakukan rekayasa sosial untuk memprovokasi masyarakat pedesaan untuk peduli akan pendidikan. Tidak sedikit orang desa kini lebih baik mencicil motor daripada uangnya dipakai biaya pendidikan anaknya.
Maksud saya, bagaimana kemudian ke depan perpustakaan ini dapat menjadi sebuah labolatorium yang dapat merubah pola pikir masyarakat seperti ini. Perpustakaan harus menebar virus pendidikan melawan sifat-sifat pragmatis yang selalu mengeksploitasi anak sebagai objek pencari uang. Perpustakaan dapar berfungsi sebagai sarana aktivitas anak yang menyenangkan sambil menumbuhkan minat belajar sepanjang hayat itu – sebagai mana dalam visi perpustakaan.
Pola seperti ini diharapkan dapat bersinergi